5 Jenis Sertifikat Rumah dan Properti yang Kamu Wajib Pahami

Salah satu hal terpenting dari pembelian rumah adalah mengetahui jenis sertifikat rumah tersebut. Apakah sudah menjadi hak milik, hanya hak guna bangunan, atau sekadar hak penggunaan lahan. Memang apa perbedaannya dan efek ke pemilik properti dengan status sertifikat tersebut? 

Status sertifikat rumah akan mempengaruhi seberapa besar kepemilikan kita di rumah yang berupa tanah dan bangunan tersebut. Jika ternyata sertifikatnya sekadar hak guna bangunan, artinya sewaktu-waktu lahan itu bisa dialihfungsikan oleh yang punya. Untuk itu, sangat penting bagi kita memahami apa status sertifikat dari properti yang dimiliki. 

Secara umum ada 5 jenis sertifikat dan surat penting dalam transaksi jual-beli properti yang wajib kita pahami. 

Lihat juga: Jual Apartemen di Jakarta Barat

Akta Jual-Beli (AJB)

Akta jual beli (AJB) memang bukan sertifikat rumah, tetapi menjadi salah satu syarat penting untuk kita bisa mengurus surat-surat dari properti yang dimiliki. Soalnya, AJB bisa dibilang sebagai bukti adanya pengalihan kepemilikan tanah dan properti yang telah diperjual-belikan. 

Nantinya, dalam AJB akan ada detail kesepakatan transaksi antara penjual-pembeli properti tersebut. Lalu, dalam AJB juga akan dijelaskan status sertifikat properti tersebut, apakah sertifikat hak milik (SHM), sertifikat hak guna bangunan (HGB), atau masih berbentuk girik. 

AJB memang bukan sebuah sertifikat resmi, tapi dalam proses membuat AJB tidak bisa sembarangan. Soalnya, proses pembuatan AJB harus dilakukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berisi kesepakatan transaksi jual-beli. 

Ibaratnya, AJB adalah struk belanja setelah selesai transaksi. Jadi, kalau mau dapat garansi dan sebagainya, struknya tidak boleh hilang karena ada keterangan-keterangan kesepakatan hingga tanggal transaksi di sana. Sehingga jika ada sengketa, AJB jadi bukti valid transaksi jual-beli properti yang terjadi. 

Sertifikat Hak Milik (SHM)

Sertifikat Hak Milik (SHM) menjadi salah satu sertifikat rumah yang paling lengkap. Soalnya, jika ada properti dengan SHM, berarti seluruh tanah dan bangunannya dimiliki oleh pemilik properti. Meski, dalam prakteknya jika negara membutuhkannya, status itu bisa saja dicabut dengan berbagai ketentuan yang sudah diatur. 

Beberapa kelebihan SHM antara lain, bisa dialihkan dengan mudah untuk jaminan kredit, hibah, hingga diwariskan secara turun temurun. Lalu, usia sertifikat hak milik tidak ada batas waktunya. 

Baca juga: 3 Cara Cek Sertifikat Rumah Asli atau Palsu

Hak Guna Bangunan (HGB)

Hak guna bangunan bisa dibilang sertifikat rumah yang kelasnya di bawah SHM. Pasalnya, sertifikat HGB berarti pemilik hanya berhak menggunakan bangunan tanpa memiliki tanahnya. Jadi, pemilik bangunan punya periode tertentu yang sudah disepakati untuk bisa tinggal di bangunan tersebut. 

Dalam ketentuan, periode HGB itu sekitar 30 tahun dengan opsi perpanjangan 20 tahun. Biasanya, properti yang punya sertifikat HGB menggunakan tanah milik pemerintah. Jika tanah itu dibutuhkan pemerintah, artinya ada risiko pemilik dengan sertifikat HGB wajib merelakannya. 

Adapun, pemilik dengan status properti HGB juga wajib membayarkan uang untuk masa perpanjangan penggunaan bangunan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2022, biaya perpanjangan HGB memiliki rumus, yakni tambahan periode perpanjangan HGB (20 tahun), dibagi 30 tahun, dikalikan 1%. 

Nantinya, hasil dari perhitungan itu akan dikalikan dengan hasil pengurangan Nilai Perolehan Tanah (NPT) dengan NPT Tidak Kena Uang Pemasukkan (NPPTKUP), lalu dikalikan 50%. Adapun, besaran nilai NPT dan NPTTKUP bisa dilihat dalam SPT PBB tanah yang mau diperpanjang HGB-nya.

Meskipun begitu, jika kita pemilik rumah tapak dan status sertfikat rumahnya masih HGB, kita bisa mengajukan perubahan sertifikat dari HGB ke SHM. Namun, perubahan sertifikat itu hanya berlaku untuk rumah tapak [tidak untuk apartemen], pemilik rumah perorangan [bukan badan usaha], serta tidak berlaku untuk pemilik rumah yang statusnya warga negara asing (WNA). 

Cara mengubah sertifikat HGB menjadi SHM antara lain, tinggal mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) daerah setempat dan melengkapi beberapa dokumen yang dibutuhkan. 

Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS)

Sertifikat hak satuan rumah susun (SHSRS) menjadi salah satu sertifikat rumah susun atau apartemen yang statusnya adalah hak milik, termasuk tanahnya. Perbedaan dengan SHM, SHSRS mengakui kepemilikan unit apartemen di tengah tanah yang dimiliki bersama oleh penghuni apartemen atau rumah susun lainnya. 

Adapun, SHSRS juga menjadi salah satu bukti kepemilikan untuk perkantoran yang ada di gedung tinggi, kios komersial yang tidak dimiliki pemerintah, kondominium, dan flat. 

SHSRS ibarat SHM dalam konsep rumah vertikal. Jadi, pemilik unit juga punya hak atas tanah sesuai dengan persentase yang ditetapkan. 

Adapun, biaya pengurusan SHSRS merujuk ke Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. 

Beberapa biaya dalam pembentukkan SHSRS antara lain:

  • iaya pemetaan tematik bidang tanah yang tarifnya Rp75.000 untuk pemecahan serfitikat 1:1.000 per bidang tanah.
  • Biaya pelayanan pendaftaran pemisahan, pemecahan, dan penggabungan. Biayanya sekitar Rp50.000 per sertifikat rumah susun subsidi, sedangkan rumah susun non-subsidi dikenakan biaya Rp100.000 per sertifikat

Di luar itu, ada biaya-biaya lainnya dalam pengurusan sertifikat SHSRS sesuai dengan kebijakan masing-masing pengembangan. Untuk itu, jika kita ditawarkan untuk membeli apartemen, kita perlu tahu lebih detail tentang biaya pembayaran sertifikat SHSRS tersebut. 

Girik

Girik bukanlah sertifikat rumah seperti SHM, HGB, dan SHSRS. Girik adalah salah satu surat administrasi untuk menunjukkan penguasaan lahan adat. Biasanya, administrasi jenis girik ini ada di level desa. 

Dalam girik itu akan tertera nomor, luas tanah, dan pemilik hak karena jual-beli maupun waris. 

Namun, Girik bukan menjadi surat administrasi resmmi jika berdiri sendiri. Dibutuhkan beberapa bukti lainnya seperti Akta Jual-beli (AJB) atau surat waris. 

Untuk itu, jika status tanah kita saat ini baru berupa girik, ada baiknya untuk diurus menjadi sertifikat. 

Coba sekarang kamu cek lagi status kepemilikan tanah dan rumah-mu saat ini, apakah SHM, HGB, atau baru berupa girik.

Lihat juga: Jual Apartemen di Jakarta Pusat

Tinggalkan komentar